PADANGSIDIMPUAN.- Drs Jon Sujani Pasaribu, eks petinggi di Bank BUMN, putra asli kelahiran Kota Padangsidimpuan, memiliki asa untuk Bumikan falsafah kearifan lokal (local wisdom) di Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel), “Poda Na Lima”.
“Poda Na Lima”, merupakan falsafah adat masyarakat Tabagsel yang di antaranya berisi, paias rohamu (bersihkan jiwamu), paias pamatangmu (bersihkan badanmu), paias parabitonmu (bersihkan pakaianmu), paias bagasmu (bersihkan rumahmu), dan paias pakaranganmu (bersihkan lingkunganmu).
Jon Sujani Pasaribu, yang merupakan ayah dari dua putri dan satu putra, yang juga sudah malang melintang selama 30 tahun di dunia Perbankan ini, merasa mempunyai hutang moral untuk bumikan “Poda Na Lima” di Tabagsel.
“Saya lahir di Kota Padangsidimpuan, tepatnya di Kampung Marancar. Dari SD, SMP, sampai SMA tingkat 2, saya Sekolah di Padangsidimpuan,” ujar Jon perkenalkan diri saat bincang santai ke awak media di Sihoring-horing, Kota Padangsidimpuan, Kamis (07/09/2023) sore.
Menurut pria yang pernah mengenyam pendidikan di SMP Negeri 1 Kota Padangsidimpuan pada 1982 ini, ada prinsip atau tradisi di kalangan orang Batak, yang mana ia harus merantau ke “Kampung Orang”.
Ia bulatkan tekad, alhasil memutuskan niat untuk bersekolah dan menyelesaikan pendidikan SMA-nya di Jakarta.
“Bukan tak sedih cerita saya saat mau merantau. Kalau harus mengingat itu, ibu saya, orang yang paling saya cintai, awalnya tidak setuju jika saya harus bersekolah atau merantau ke Jakarta,” tutur Jon.
Jon, akhirnya terus membujuk ibunya. Meski berat, tapi ibunya setuju. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA-nya di Ibu Kota, ternyata ia, terus teringat akan ibunya. Ia tak bisa meninggalkan ibunya dan akhirnya memilih pulang kembali untuk Kuliah di Kota Medan.
“Supaya agak dekat ke Padangsidimpuan, saya kuliah di Kota Medan. Saya ngekos di Gang Jati, Jalan Teladan, Kota Medan, karena dekat dengan Kampus saya UISU,” kata Jon.
Walau kenakalan remaja masa itu, sangat luar biasa di Kota Medan, namun ia selalu ingat pesan orang tuanya agar jangan melenceng dari nasehat orang tua dan hukum-hukum agama, terlebih adat. Menurutnya, tak ada pelaut tangguh lahir dari air laut yang tenang. Jon, tak ingin berada di zona nyaman.
Meski saudara-saudara kandungnya banyak yang sudah meniti karier di berbagai bidang, serta meraih kesuksesan, namun ia tak ingin berpangku tangan akan hal itu. Jon merasa harus independen dari saudara kandungnya. Namun, selama berkuliah di Kota Medan, jiwanya untuk menaklukkan Ibu Kota, kembali berkecamuk.
Akhirnya pilihan Jon jatuh kembali untuk merantau ke luar kota, awalnya. Tahun 1993, Jon memantapkan diri berkarier di Bank BNI. Kurang lebih 30 tahun anak bungsu dari 7 bersaudara ini berkarier di Bank BUMN. Terakhir, di 2023 ini, ia melepas karier di BSI. Kini, Jon memilihi ke luar dari Bank BUMN, karena ingin mencari kebebasan.
Bagi Jon, sesuai nilai-nilai adat Tabagsel, ia sangat menjunjung tinggi persaudaraan yang baginya adalah segala-galanya. Selama di Bank, hampir setiap tahun ia pulang ke Kampung Halaman. Setelah meninggal ayah dan ibunya, ia juga selalu sempatkan diri untuk ziarah ke makam orang tuanya.
Ia mengaku sempat terbersit pikirannya, bahwa dia tak pernah berkarier di Tabagsel. Padahal, kalau ia mau, bisa saja Manajemen Bank BUMN, memberinya tempat kerja di Kampung Halaman.
Tapi, takdir berkata lain. Nyaris, meniti karier di seluruh bagian Pulau Jawa, pernah ia jalani. Sampai pada suatu ketika, ia teringat akan pepatah Tabagsel, yaitu “Poda Na Lima”. Di mana, ia merasa sedih akan perjalanan hidupnya sendiri. Karena, Jon merasa tak pernah berbuat apapun untuk Kampung Halaman.
Menurutnya, jika nanti setelah pulang ke “Kampung Akhirat“, ia takut Tuhan bertanya apa yang sudah ia perbuat untuk Kampung Halaman, tapi tak bisa menjawabnya. Memang, ia sudah menyediakan Lahan untuk bangun sekolah di Batunadua, Kota Padangsidimpuan. Dengan cita-citanya, yang bersekolah di situ, adalah dari kalangan keluarga yang tak mampu.
Nahas, pandemi Covid-19 datang, impian itu tak kunjung terlaksana. Ia menjelaskan, semenjak menjamurnya berbagai platform media digital dan gadget, kearifan lokal di Tabagsel ia perhatikan sudah mulai bergeser. Padahal, menurutnya, banyak konten local wisdom di Tabagsel yang sangat bagus sekali dan lengkap.
“Semua bisa terpikir saya setelah di perantauan. Salah satunya, ‘Poda Na Lima’. Jika setiap orang bisa menerapkan ‘Poda Na Lima’ maka ini bisa menjadi nasehat dan pegangan hidup,” sebutnya.
Begitu juga dengan “Dalihan Na Tolu” (Mora, Kahanggi, dan Anak Boru) yang merupakan istilah kekerabatan Batak Angkola. Juga baginya memiliki esensi yang dahsyat.
Jika sudah menjunjung tinggi “Dalihan Na Tolu”, tidak ada orang yang tak saling menghormati yang tua dan menyayangi yang muda, serta segan kepada yang kecil.
Menurutnya, banyak generasi penerus saat ini di Tabagsel yang sudah mulai melupakan semua itu. Terutama di kehidupan sehari-hari. Namun, ia tak menafikan semua itu lantaran gaya hidup yang cenderung mengarah ke matrealis, hedonis, dan kecanduan gadget.
Padahal, kata Jon, warisan leluhur itu sangat baik. Banyak nilai-nilai “Poda Na Lima” yang sejalan dengan hukum agama, khususnya Islam. Ia menuturkan, banyak orang pintar belum tentu bijak, bahkan cenderung jahat.
Dengan “Poda Na Lima”, setiap insan bisa menjadi bijaksana. Ia menceritakan, orang tuanya dahulu, walau tak bersekolah tapi sangat bijaksana dan cerdas.
Ia ingin, “Poda Na Lima” ini tak lekang termakan zaman. Jon berharap, “Poda Na Lima” ada di setiap anak cucu masyarakat Tabagsel. Kemudian menjadi jargon untuk pegangan hidup. Dan, cita-citanya, “Poda Na Lima” menjadi aturan yang melekat bagi masyarakat satu saat nanti.
“Saya bercita-cita ada wadah atau forum diskusi misalnya, yang menyukseskan penerapan ‘Poda Na Lima’. Sebab, ‘Poda Na Lima’ ini, tidak bertentangan dengan konstitusi maupun hukum agama.
Mau saya, ‘Poda Na Lima’, harus masuk ke pelajaran konten lokal di Sekolah,” harap Jon.
Pria kelahiran 57 silam ini mengaku, banyak generasi muda yang bahkan sudah tak mengerti tutur bersaudara, bahasa, bahkan aksara Batak Angkola.
Tapi ia tak menyalahkan siapa pun akan hal itu. Ia berharap, seluruh lapisan masyarakat, dapat menyukseskan penerapan “Poda Na Lima” dengan membuka suatu forum atau seminar.
“Mudah-mudahan, ada perubahan ke depan,” impinya.
Sampai sekarang, belum ada generasi di Tabagsel yang menolak “Poda Na Lima”. Ia juga menegaskan, kepeduliannya akan “Poda Na Lima”, tidak ada embel-embel politik. Ia mulai mengampanyekan “Poda Na Lima”, lewat spanduk-spanduk dan media sosial. Meski, banyak yang menilai apa yang ia lakukan itu semua ada ekses politiknya.
“Terus terang, saya mau fokus ke ‘Poda Na Lima’. Saya bukan orang yang ambisius. Memang, orang yang mampu mengelola ambisi hasilnya cenderung baik. Bagi saya, ‘Poda Na Lima’ ini bentuk nasehat untuk saya sendiri. Karena saya rasa sangat dahsyat, maka saya mau mengajak kita semua untuk menerapkan ‘Poda Na Lima’ ini,” bebernya.
Namun demikian, menurutnya, suksesi sosialisasi “Poda Na Lima” tak akan berjalan dengan baik, tanpa peran semua pihak. Termasuk wartawan. Karena, wartawan itu baginya “Dakwah“. Dengan menyosialisasikan “Poda Na Lima”, artinya wartawan telah mendakwahkan hal-hal yang baik.
“Memang, Tokoh kita yaitu Almarhum Bapak Raja Inal Siregar (mantan Gubernur Sumut) sudah pernah melahirkan konsep ‘Marsipature Huta Nabe‘ yang erat kaitannya atau turunan dari ‘Poda Na Lima’. Saya ingin, kita sebagai generasi penerus terus menggelorakan semangat nilai-nilai kearifan lokal ini demi kemajuan kita bersama. Dan tentunya, semua ini harus berangkat dari keikhlasan,” pungkas pria penuh senyum itu menutup.*(AIS)